PR = PEKERJAAN RUMAH = BENARKAH HANYA BEBAN TANPA GUNA?


Masih ingatkah pengalaman  mengerjakan PR ketika  di sekolah dulu ? Kira2 PR2 itu berguna nggak ya sama kehidupan saat ini? Salah satu  skill berguna yang saya dapatkan dari PR saat SMP/SMA yang seabgre-abreg itu adalah skill bagaimana berteman. Berbaik-baiklah  dengan  teman yang pintar, supaya kalau PR sulit, dipagi hari diperbolehkan menyalin PR darinya. Hmmm, azas manfaat memang, tapi bagaimana lagi kalau kepepet? Terus terang saya tidak terlalu merasa PR fisika atau PR kimia pada saat itu memberikan manfaat pada saya saat ini. Paling tidak, manfaat yang saya rasakan adalah saya tahu pasti bahwa saya tidak punya kemampuan yang baik di bidang2 itu, jadilah saya tidak menggeluti bidang2 yang menurut saya jelimet itu. Yang pasti saat itu, kepala pusiiiing, stress,memikirkan bagaimana mengerjakan semua PR itu setiap hari. Belum lagi ditambah kegiatan2 lain diluar PR2 itu.

Bagaimana dengan PR anak2 anda? Apakah anda tergolong orang tua yang suka mengeluh karena PR anak2 anda sangatlah menyita waktu dan sulit?Sebagian besar bahkan anda yang harus turun tangan? Di Indonesia beberapa sekolah menerapkan hal yang berbeda mengenai PR. Ada yang memberikan PR yang setumpuk setiap hari, dengan alasan untuk melatih pegetahuan  anak2 tersebut tentang apa yang diajarkan disekolah. Ada yang punya kebijakan tidak ada PR sama sekali di rumah.  Apakah kegiatan anak2 kita benar2 berguna bagi masa depan mereka?

Seorang pendidik Amerika,   Alfie Kohn (2007) dalam bukunya  “No Contest: The Case Against Competition”, mempertanyakan mengapa banyak guru2 dan orang tua tetap memberikan pekerjaan rumah yang berlebihan pada anak, padahal tidak ada studi yang membuktikan pembelajaran tersebut memberikan keuntungan yang menyeluruh bagi perkembangan anak. Justru menurut Kohn, Pekerjaan rumah yang berlebihan dapat menjadi faktor detrimental bagi perkembangan anak karena ‘merampok’ saat2 berkualitas mereka bersama keluarga, yang biasanya didapat di malam hari. Selain itu, juga tidak memberikan kesempatan bagi anak2 untuk benar2 menjadi anak2. Di Amerika, secara umum, pendidikan menggunakan pendekatan ‘Push Teachers’ untuk memberikan seabreg pekerjaan rumah sebagai usaha untuk membangun karakter anak. Kohn dengan ekstreem berpendapat justru hal yang dipaksakan ini dapat membunuh intelektualitas anak dan mematikan kreatifitas mereka. Walaupun pendapat Kohn ini tidak didasarkan pada studi2 kasus yang memadai, namun pendapatnya patut dipertimbangkan.

Ian Lilico, konsultan pendidikan yang cukup terkenal di Australia dengan pengalaman selama 31 tahun dalam ranah pendidikan, sebagai guru sampai kepala sekolah SMU (yang juga merupakan ayah dari 3 anak laki2), sependapat dengan Kohn. Dalam bukunya “Home work and the homework Grid” (2004)ada beberapa alasan mengapa pemberian PR yang menumpuk tersebut terjadi. Diantaranya adalah ;

  1. Gaya hidup yang sibuk (Busy lifestyle)                                                          kehidupan masa kini dimana kedua orang tua sibuk bekerja, anak2 perlu diberikan banyak aktivitas yang tidak terlalu mengganggu orang tua mereka di rumah. Anak2 sudah sibuk sendiri dengan pekerjaan rumah mereka.
  2. Kecenderungan lingkungan anak2 masa kini yang sulit untuk banyak bergerak. (Sedentary nature of children)                                                            Halaman rumah yang sempit, lingkungan luar cenderung dianggap lebih ‘tidak aman’, naik mobil kemana-mana, tinggal di apartment yang sempit,dll.
  3. Penekanan lebih kepada menulis dan membaca dalam kegiatan belajar.
  4. Kehidupan keluarga yang lebih banyak berubah, misalnya, single parent, menyebabkan kecenderungan untuk lebih sulit meluangkan waktu untuk anak.

Menurut Lilico, pekerjaan rumah bagi orang tua berperan sebagai banyak hal diantaranya adalah :

  1. Menjadi beban berat bagi anak dan orang tua setiap hari.
  2. Orang tua baik ayah ataupun ibu, kehilangan ‘quality time’dengan si anak karena waktu anak di rumah sebagian besar untuk mengerjakan PR
  3. Sebagian orang tua yang mengerjakan PR anak
  4. Stress dalam mengerjakan PR dapat menyebabkan argument yang tidak menyenangkan
  5. Beberapa orang tua menilai sekolah anak melalui banyaknya pekerjaan rumah yang diberikan. Sekolah dianggap bermutu baik bila pekerjaan rumah menumpuk.

Dalam analisa Lilico, terlihat pekerjaan rumah yang tradisional justru tidak mendukung pembelajaran bagi anak secara menyeluruh dan menghilangkan waktu2 yang berkualitas bersama keluarga, yang seharusnya membawa pengaruh yang baik bagi keluarga. Yang menarik, Lilico merekomendasikan Homework Grid – menurut saya patut dipertimbangkan dalam mengatur aktivitas anak2.

Diterjemahkan oleh Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

Homework Grid ini disarankan dilakukan dalam kurun waktu kurang lebih 2 minggu.  Maksudnya, setiap 2 minggu, aktivitas2 ini disarankan ada. PR bukan lagi hal2 yang hanya bersifat akademis, namun mencakup hal2 lain, dan diperlukan kerjasama antara orang tua dan guru dalam hal ini.

Tentunya dalam pelaksanaannya, Grid untuk anak usia 7 tahun berbeda isinya dengan anak usia 12 tahun, namun dasar2nya tetap sama.

Menurut saya  panduan ini cukup baik  sebagai landasan PR anak2,agar seimbang. Tidak hanya melulu akademis, tapi mementingkan kegiatan2 lain sepeti perduli lingkungan,bertanggung jawab membantu keluarga, sadar  budaya dan juga spiritual. Sepertinya pandangan ini sejalan dengan konsep multiple intelligence yang dikembangkan oleh Howard Gardner ( 1983), yang mengemukakan 8 aspek intelegensi seseorang. Mungkin bila  panduan tersebut dilakukan mengarah pada berbagai pengembangan bakat anak, bukan hanya pada aspek spatial, linguistic dan logical mathemathical, namun juga kinesthetics,musical, interpersonal,intrapersonal dan naturalistik.

Terlebih lagi, PR tersebut bisa dirancang bebas gender. Dalam artian, anak laki2 juga bisa membantu ibu memasak di rumah, karena pada kenyataannya pada keluarga masa kini dengan peran gender yang fleksibel dalam keluarga, pria juga dituntut untuk dapat memasak.  Demikian pula anak perempuan dapat membantu ayah membetulkan mobil yang rusak, karena kalau sudah dewasa punya mobil dan mogok, paling tidak mengerti mengenai mobil  dan tidak sering ditipu di bengkel….:)

Jadi, bagaimana dengan’ PR’ anak2 anda?

2 Comments

Filed under Mommy Worry - Education

2 responses to “PR = PEKERJAAN RUMAH = BENARKAH HANYA BEBAN TANPA GUNA?

  1. Janda Kaya

    Wah, PR. Pekerjaan Rumah. Waktu gue di Jepang, seinget gue PR itu kalau pekerjaan yang dilakukan di sekolah belum selesai. Baru deh dibawa ke rumah untuk diselesaikan. Soalnya sekolahnya saja sudah sampai jam 3 siang, sampai di rumah jam 4, masa’ bikin PR lagi?

  2. Di beberapa sekolah memang udah ada juga yang nggak ngebebanin anak sama PR2 akademik. Tapi yang namanya PR mestinya tuh lebih seimbang, nggak melulu akademik. Akademik relevansi-nya kan sama IQ. Padahal dunia kerja perlu juga EQ &SQ. Jadi aktivitas anak selain disekolah mesti lebih ‘kaya’ lebih seimbang.
    Di sekolah udah fokus ke akademik, masa’ di rumah akademik lagi. Mestinya aktivitas yang involving social environment, increase creativity, juga menghargai keluarga. Yang bagusnya, homework grid-nya Lilico diatas itu, sekolah juga care sama activities selain akademik dan encourage anak2 untuk menghargai family life. Dengan begitu anak2 juga belajar bagaimana berkeluarga, dan diharapkan bisa hidup secara seimbang kerja & keluarga.

Leave a comment